Sunday, April 22, 2012

Raditya Eka Rizkiantoro, Dosen ITS yang Bergaya Nyentrik

0 comments




Bagi Raditya Eka Rizkiantoro, rambut gondrong tidak untuk bergaya. Bagi dia, rambut gondrong sudah menyangkut filosofi hidup. Dia adalah satu-  satunya dosen ITS yang nekat berambut gondrong.


http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=247924 - Orang sering tertipu oleh penampilan Raditya Eka Rizkiantoro. Rambutnya panjang berombak, menjuntai sampai ke punggung. Gaya penampilannya cuek, suka mengenakan celana dan jaket jins belel. Belum lagi kemejanya yang biasa dilipat hingga ke siku.
"Saya sering ditanya, sudah semester berapa, Dik? Mau dijawab nggak jujur salah, dijawab jujur nanti mereka tambah kaget," kata Eka. Dilihat dari penampilannya, siapa pun pasti tak menyangka bahwa dia adalah dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Soal rambut, Eka bukannya ingin bergaya-gayaan atau mengikuti tren. Rambut gondrong, kata dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) itu, merupakan filosofi hidupnya. Dia bermimpi mempunyai rambut gondrong sejak masih ingusan. "Ketika berusia sekitar lima tahun, saya melihat film Indian di TVRI. Saya terpesona pada laki-laki Indian yang gondrong. Mereka tampak gagah berani," ungkap pria kelahiran Tangerang, 9 Desember 1976, tersebut.

Kesan itu terus menancap di kepala Eka kecil. Dia mulai "curi-curi" memelihara rambut. Meski tidak bisa dikatakan gondrong, sejak SD hingga bangku SMA, rambutnya sangat jauh dari kesan rapi. Berbeda dari teman-temannya yang lain. "Tapi, saya tidak pernah dimarahi guru karena saya pintar matematika," ujar alumnus DKV ITB tersebut.

Eka baru benar-benar bisa memanjangkan rambut ketika menginjak bangku kuliah. "Itulah masa-masa kebebasan saya," kata dosen berdarah Sunda tersebut. Dirinya ingin membuktikan bahwa pria gondrong itu tidak selalu identik dengan cap preman, tampang kriminal, urakan, apalagi jahat. 

"Laki-laki berambut gondrong tidak dinilai positif seperti di suku Indian," jelas pembina UKM Taekwondo ITS tersebut. Panjang rambut Eka sekarang sekitar 50 cm.

Stigma negatif masyarakat terhadap laki-laki berambut gondrong dijawab Eka dengan sederet prestasi. Dia pernah membentuk grup band indie dan merilis album. Dia pun pernah mengantarkan tim poster ITS meraih medali terbanyak dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) di Malang beberapa bulan lalu. Dia ditunjuk sebagai pengkritik film pendek mahasiswa ITS yang akhirnya berhasil menyumbangkan emas untuk Jatim di Peksiminas VIII di Makassar, 6-12 September lalu.

"Ketika masih kuliah, saya dulu punya band indie. Namanya The Panas Dalam Band. Lagu hits parodi kami adalah Rintihan Kuntilanak. Saya kebetulan juga menjadi modelnya," ungkap Eka. Sejurus kemudian, dia langsung mempraktikkan salah satu adegan dalam video klip yang dibuat pada 1999 tersebut. 

Mau tahu seperti apa gaya Eka? Rambut yang semula dikuncir dibiarkan terburai ke mukanya. Lalu, tangannya digelayutkan di kursi. "Kalau di video itu, saya bergelayutan di pohon, kayak kuntilanak," ujarnya.Ada satu lagi manfaat rambut gondrong bagi Eka. Kalau sudah di rumah, keponakannya paling senang bermain-main dengan dirinya. Eka disuruh berpura-pura menjadi Si Buta dari Gua Hantu, Monster Api, atau Megaloman. "Kadang-kadang juga menjadi kuntilanak. Saya melucu, sehingga para keponakan memiliki gambaran sendiri tentang kuntilanak. Jadi, mereka tak takut," jelasnya.

Setelah lulus dari ITB pada 2001, dia bekerja di sebuah perusahaan iklan. Rambut gondrongnya belum menjadi masalah. Tapi, ceritanya berubah ketika dia dinyatakan lolos ujian dosen DKV ITS pada September 2002. Eka sempat menjadi bahan gunjingan. "Tapi, saya tetap cuek. Penampilan saya tidak berubah waktu pertama mengajar." 

Para mahasiswa sempat kaget karena ada dosen baru, gondrong pula, masuk ke kelas mereka. Bahkan, beberapa di antara mereka mengintip dari luar lebih dulu. "Waktu itu, saya masih semester tiga. Kaget juga melihat penampilan Pak Eka. Gondrong plus aneh," ungkap Senja Aprela Agustin, mantan mahasiswi Eka. 

Eka disebut aneh lantaran suka "berulah". Ada-ada saja tingkahnya. Contohnya, dia sering membawa motor tua ke kampus. Dia memiliki tiga motor tua dan satu vespa. "Yang sering saya pakai adalah AWO 1951 buatan Jerman Timur. Saya beli di Mojokerto. Ada juga satunya lagi, DKW Mion RT 125 1956 buatan Jerman Barat," jelasnya. Satu motor tua lagi masih ada di Bandung, yakni jenis BSA Bantam 250cc.

Meski sempat dibilang aneh, Eka cepat akrab dengan para mahasiswanya. Dia sering menjadi tempat curhat. Karena jauh dari kesan formal, para mahasiswa tidak sungkan-sungkan berbicara apa saja dengan dosen yang suka mendaki gunung itu.

Namun, tidak semua pihak bisa menerima sosok Eka. Dia pernah ditegur pihak rektorat, bahkan sampai "disidang". 

Ceritanya, Juni 2004, Eka datang ke rektorat dengan penampilan cuek. Ketika hendak masuk, "Tiba-tiba ada seorang pria yang tidak saya kenal menanyakan apakah saya mahasiswa atau pegawai."Begitu mengetahui Eka adalah salah seorang dosen, wajah bapak itu mendadak berubah. Dia terlihat tidak suka. "Bekas anak band ya?" ujarnya.

Eka diam saja, meski merasa tersinggung. "Eh, besoknya, saya dipanggil ke rektorat. Ditanya macam-macam pula," katanya. Selama 1,5 jam dia dicecar berbagai pertanyaan. Salah satunya oleh Pembantu Rektor II Ir Syarief Widjaja PhD. 

Pertanyaan apa lagi kalau bukan seputar alasan dirinya memilih menggondrongkan rambut. "Saya berusaha menjelaskan, rambut gondrong tidak akan memengaruhi kinerja saya. Akan saya tunjukkan hasil terbaik," tegasnya. 

Siapa bapak yang menegurnya itu? Eka belum tahu sampai sekarang. "Karena jarang ke rektorat, saya tidak tahu. Mungkin beliau orang rektorat."

Dua bulan berselang, Eka harus merelakan rambut kesayangannya. "Pihak rektorat tidak pernah menyuruh saya potong rambut. Saya terpaksa memotongnya karena mengikuti Prajabatan di Malang. Rambut wajib cepak," ungkapnya. Akhirnya, rambut Eka dibikin "habis." 

Perlu lebih dari setahun untuk gondrong kembali. "Saya merasa kehilangan diri saya ketika rambut saya cepak," ujarnya. 

Tapi, hal itu tetap membawa berkah. Sepulang dari kegiatan tersebut, Eka mulai dilibatkan dalam berbagai kegiatan kampus. Dia ditunjuk sebagai pembina tim poster ITS dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) di Malang. "Alhamdulillah, bimbingan saya menyumbangkan medali terbanyak, sekitar 12 biji," kata pria yang mengidolakan Nabi Muhammad tersebut. 

"Ada baiknya jawaban ditunjukkan dalam bentuk prestasi. Yang penting, membuktikan bahwa pria gondrong itu tidak melulu jahat," tegas dosen yang masih melajang tersebut. (*)

Leave a Reply

 
DKV ITS © 2012 Design by Vicky Madhas